A. Pendahuluan
Firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
Artinya:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap kedua (orang tua) dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ”Wahai Rabbku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.” (QS al-Isra, 17:24)
Sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, ” Wahai Rabbku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertaubat kepada-Mu dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (QS al-Ahqaf, 46:15)
Ayat pada surat al-Isra di atas menggambarkan betapa besarnya arti pendidikan orang tua kepada anak-anak semasa mereka kecil, hingga Allah swt mengabadikan dalam lafazh doa pada al-Quran. Sementara itu, pada surat al-Ahqaf:15 tergambar bahwa kematangan kepribadian seorang beriman tercermin dalam usaha dan permohonan kepada Allah agar kebaikan pada dirinya menjadi washilah kebaikan yang akan diperoleh anak cucunya. Oleh karenanya perhatian orang tua terhadap pendidikan anak-anak semasa kecil menjadi sebuah kewajiban dalam ajaran Islam.
Menurut Buchori[1] terdapat dua peristiwa pendidikan yaitu yang disengaja dan terencana, dan yang tidak disengaja dan tidak direncanakan, pendidikan formal dan nonformal merupakan pendidik yang disengaja sehingga hal itu dapat dikatakan sebagai suatu upaya, sedang pendidikan informal (termasuk pendidikan di lingkungan keluarga) merupakan pendidikan yang tidak disengaja dan tak terencana sehingga lebih merupakan suatu kejadian/peristiwa. Dengan kerangka berfikir ini, maka perlu difikirkan untuk mengkaji kembali definisi pendidikan agar dapat mencakup pendidikan informal/keluarga.
B. Orang Tua
Orang tua hendaknya memiliki pengetahuan dan visi yang shahih (benar) dan jelas akan arah pendidikan anak. QS al-Isra, 17:24 memberi bekal para orang tua agar mengarahkan pendidikan anak pada sikap bersyukur kepada Allah dan pada perbuatan-perbuatan kebajikan (’amal shalih) yang diridhai Allah. Visi ini harus melekat pada orang tua di tengah berbagai tarikan-tarikan materialisme dalam tujuan kehidupan.
Professor Arief Rachman mengatakan bahwa anak butuh akhlak dan watak[2]. Beliau melihat pendidikan di Indonesia secara umum hanya menekankan aspek kognitif (pikiran, akademis). Hal-hal yang sifatnya terukur saja. Sementara itu, soal akhlak dan watak serta hal lain yang tidak terukur, boleh dibilang ditelantarkan. Padahal kalau kita membaca tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Pendidikan, kita bisa melihat bahwa tujuan pendidikan itu memuat juga kedua hal tersebut. Inilah yang menyebabkan bangsa ini sulit menjadi bangsa yang besar. Korupsi masih ada di mana-mana, sikap tidak sportif merebak di berbagai dimensi kehidupan dan sikap-sikap negatif lainnya.
Menimbang hal-hal di atas, makalah ini akan dibuka dengan sifat pendidik suskes menurut arahan Nabi Muhammad saw. Kemudian dikupas secara singkat bentuk-bentuk pelibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah. Dan pada bagian akhir disampaikan kiat-kiat orang tua dalam membangun jiwa (kepribadian) anak yang merupakan bagian paling mendasar dalam pendidikan.
Sifat-sifat Pendidik Sukses dalam Pengarahan Nabi saw. Ustadz Muhammad Ibnu Abdul Hafizh Suwaid mencatat beberapa sifat pendidik sukses sebagai berikut[3]
1. Penyabar dan tidak pemarah, karena dua sifat ini dicintai Allah swt. (H.R. Muslim dari Ibnu ’Abbas)
2. Lemah lembut (rifq) dan menghindari kekerasan.
Allah itu Maha Lemah Lembut, cinta kelemahlembutan. Diberikan kepada kelembutan apa yang tidak diberikan kepada kekerasan dan kepada selainnya (H.R. Muslim dari ’Aisyah). Tidaklah kelemahlembutan itu terdapat pada sesuatu melainkan akan membuatnya indah, dan ketiadaannya dari sesuatu akan menyebabkannya menjadi buruk. (H.R. Muslim)
3. Hatinya penuh rasa kasih sayang
Sesungguhnya setiap pohon itu berbuah. Buah hati adalah anak. Allah tidak akan menyayangi orang yang tidak sayang kepada anaknya. Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang bersifat penyayang. (H.R. Ibnu Bazzar dari Ibnu ’Umar)
4. Memilih yang termudah di antara dua perkara selama tidak berdosa
”Tidaklah dihadapkan kepada Rasulullah antara dua perkara melainkan akan dipilihnya perkara yang paling mudah selama hal itu tidak berdosa”. (Mutafaq ‘alaih)
5. Fleksibel (layyin)
Bukanlah fleksibilitas yang berarti lemah dan kendor sama sekali, melainkan sikap fleksibel dan mudah yang tetap berada di dalam koridor syariah. Neraka itu diharamkan terhadap orang yang dekat, sederhana, fleksibel (lembut) dan mudah –qariib, hayyin, layyin, sahlin- (H.R. Al Kharaiti, Ahmad dan Thabrani)
6. Ada senjang waktu dalam memberi nasihat
Ibnu Mas’ud hanya memberi nasihat kepada para sahabat setiap hari Kamis. Maka ada seorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdur Rahman, alangkah baiknya jika Anda memberi nasihat kepada kami setiap hari.” Beliau menjawab, “Saya enggan begitu karena saya tidak ingin membuat kalian bosan dan saya memberi senjang waktu dalam memberikan nasihat sebagaimana Rasulullah lakukan terhadap kami dahulu, karena khawatir kami bosan.” (Muttafaq ‘alaih).
Dasar dari sifat-sifat mulia di atas adalah keshalihan orang tua. Keshalihan orang tua ini akan memiliki pengaruh positif terhadap anak-anak. Firman Allah, “Dan orang-orang yang beriman, Kami akan pertemukan keturunan mereka dengan mereka. Dan Kami sedikitpun tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” [QS ath-Thur, 52:21]. Mengomentari ayat ini, Ibnu ‘Abbas berkata, “Allah akan mengangkat derajat keturunan manusia bersama orang tuanya di Surga nanti walaupun kedudukannya tidak setinggi orang tuanya.”
C. Keikutsertaan Orang Tua dalam Pendidikan Anak di Sekolah
Beberapa peneliti mencatat bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah berpengaruh positif pada hal-hal berikut
o Membantu penumbuhan rasa percaya diri dan penghargaan pada diri sendiri
o Meningkatkan capaian prestasi akademik
o Meningkatkan hubungan orang tua-anak
o Membantu orang tua bersikap positif terhadap sekolah
o Menjadikan orang tua memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap proses pembelajaran di sekolah
Pihak sekolah dapat menyiapkan beberapa metoda untuk dapat melibatkan orang tua pada pendidikan anak, diantaranya dengan:
· Acara pertemuan guru-orang tua
· Komunikasi tertulis guru-orang tua
· Meminta orang tua memeriksa dan menandatangani PR
· Mendukung tumbuhnya forum orang tua murid yang aktif diikuti para orang tua
· Kegiatan rumah yang melibatkan orang tua dengan anak dikombinasikan dengan kunjungan guru ke rumah
· Terus membuka hubungan komunikasi (telepon, sms, e-mail, portal interaktif dll)
· Dorongan agar orang tua aktif berkomunikasi dengan anak
Diantara teori pendidikan menyebutkan sebuah paradigma tripartite (tiga pusat pendidikan), yang menempatkan sekolah, keluarga dan masyarakat sebagai tiga elemen yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan[4]. Dari ketiga elemen tripartite itu, keluarga merupakan fokus utama yang harus mendapat perhatian lebih, karena anak lebih banyak berada di rumah.
D. Cara Efektif Membangun Jiwa Anak
Sesungguhnya tugas utama pendidikan anak adalah membangun jiwa mereka agar siap menerima berbagai pelajaran dan kelak mengaplikasikan ilmu yang mereka peroleh demi kebaikan sesama. Ustadz Muhammad mengupas pengarahan Nabi Muhammad saw dalam membangun jiwa anak[5], sebagai berikut.
1. Menemani anak
Persahabatan punya pengaruh besar dalam jiwa anak. Teman adalah cermin bagi temannya yang lain. Satu sama lain saling belajar dan mengajar. Rasulullah saw berteman dengan anak-anak hampir di setiap kesempatan. Kadang-kadang menemani Ibnu ’Abbas berjalan, pada waktu lain menemani anak paman beliau, Ja’far. Juga menemani Anas. Begitulah Rasulullah berteman dengan anak-anak tanpa canggung dan tidak merasa terhina.
2. Menggembirakan hati anak
Kegembiraan punya kesan mengagumkan dalam jiwa anak. Sebagai tunas muda yang masih bersih, anak-anak menyukai kegembiraan. Bahkan orang tua merasakan kegembiraan dengan riangnya mereka. Oleh karena itu, Rasulullah saw selalu membuat anak-anak bergembira, antara lain dengan cara:
· Menyambut anak dengan baik
· Mencium dan mencandai anak
· Mengusap kepala mereka
· Menggendong dan memangku mereka
· Menghidangkan makanan yang baik
· Makan bersama mereka
3. Membangun kompetisi sehat dan memberi imbalan kepada pemenangnya
Umumnya manusia, apalagi anak-anak, suka berlomba. Rasulullah pun suka membuat anak-anak berlomba, misalnya ketika beliau membariskan Abdullah, Ubaidillah, dan anak-anak ‘Abbas lainnya, lalu bersabda, “Siapa yang mampu membalap saya, dia bakal dapat ini dan itu …” Maka mereka pun berlomba membalap Rasulullah saw sehingga berjatuhan di atas dada dan punggung beliau. Setelah itu mereka diciumi dan dipegangi oleh beliau.
4. Memberi pujian
Pujian punya pengaruh penting dalam diri anak, sebab dapat menggerakkan perasaan dan emosinya sehingga cepat memperbaiki kesalahannya. Mereka bahkan menunggu-nunggu dan mendambakan pujian.
5. Bercanda dan bersenda gurau
Canda dan senda gurau akan membantu perkembangan jiwa anak dan melahirkan potensinya yang terpendam. Rasulullah saw menyerukan, “Barangsiapa punya anak kecil hendaklah diajak bersenda gurau!” (H.R. Ibnu Asakir)
6. Membangun kepercayaan diri anak
Ini dilakukan dalam bentuk:
· Mendukung kekuatan ‘azzam pada anak, misalnya melatih menjaga rahasia dan membiasakan anak berpuasa
· Membangun kepercayaan sosial
· Membangun kepercayaan ilmiah
· Membangun kepercayaan ekonomi dan perdagangan
7. Memanggil dengan panggilan yang baik
Bermacam-macam cara Rasulullah saw memanggil anak, tujuannya untuk menarik perhatian dan membuat anak siap mendengar apa yang hendak dipesankan. Panggilan ini misalnya “nughair” atau si burung pipit, “ghulam” yang berarti anak, atau “wahai anakku”. Sementara para sahabat memanggil anak-anak dengan “wahai anak saudaraku”.
8. Memenuhi keinginan anak
Adakalanya orang tua harus memenuhi permintaan anak. Ini juga merupakan cara efektif untuk menumbuhkan emosinya dan menambat jiwanya terhadap orang tua. “Sesungguhnya barangsiapa berusaha menyenangkan hati anak keturunannya sehingga menjadi senang, Allah akan membuatnya merasa senang sehingga di akhirat ia benar-benar akan merasa senang.” (H.R. Ibnu Asakir)
9. Bimbingan terus-menerus
Anak, sebagaimana manusia lazimnya, sering salah dan lupa. Dibanding semua makhluk lain, masa anak-anak manusia adalah yang paling panjang. Ini semua kehendak Allah, agar cukup sebagai waktu untuk mempersiapkan diri menerima taklif (kewajiban memikul syariat). Orang tua harus secara telaten membimbing anak pada masa kanak-kanaknya. Ibnu Mas’ud berkata, “Biasakanlah mereka (anak-anak) dengan kebaikan, karena kebaikan itulah yang akan menjadi adat (kebiasaannya).”
10. Bertahap dalam pengajaran
Contohnya pada saat mendidik anak untuk shalat. “Perintahkan anakmu untuk shalat ketika berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika enggan shalat) ketika berumur sepuluh tahun.” (H.R. Abu Dawud)
11. Imbalan dan ancaman
Cara ini tidak kalah pentingnya dalam membangun jiwa. Rasulullah saw juga menggunakan cara ini dalam pendidikan. Contohnya untuk membuat anak berbakti kepada orang tua, beliau menyebutkan besarnya pahala berbakti kepada orang tua dan besarnya ancaman begi mereka yang durhaka kepada orang tua.
E. Kesimpulan
Pendidikan anak pada hakikatnya adalah tanggung jawab para orang tua. Oleh karena itu keterlibatan orang tua dalam mendukung sukses anak menuntut ilmu di sekolah merupakan kewajiban. Untuk menjadi pendidik yang baik, orang tua mesti menghiasi dirinya dengan keshalihan. Peran penting orang tua adalah membangun dan menyempurnakan kepribadian dan akhlak mulia pada anak. Untuk itu perlu sikap-sikap pendidik seperti sabar, lembut, dan kasih sayang.
Daftar Pustaka
M. Abdul Hafizh Suwaid.(1992). Cara Nabi Mendidik Anak, Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat
Raka Joni, T. (1992). Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru, Jakarta : Ditjen Dikti Depdiknas
Sukandi, dkk. (2000). Pelatihan Belajar Aktif, Jakarta : The British Council
Buchori, Mochtar (1994b) Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan, Tiara Wacana, Yogya, cetakan pertama, tahun
———- (2001) Transformasi Pendidikan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan Kedua tahun
———-. (1994a). Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, Tiara Wacana, Yogya, Cetakan Pertama.
Zurayk, Ma’ruf. (1996), Kaifa Nurabbi Abna’ana, terj M. Syaifuddin, Al Bayan, Bandung
[1] Buchori, Mochtar (1994b) Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan, hal:8, & (1994a). Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, hal:13
[2] artikel/wawancara tokoh Kak Seto (Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak) berjudul ”Pusing dengan Perceraian Artis”.
[3] Ustadz Muhammad Ibnu Abdul Hafizh Suwaid berjudul ”Cara Nabi Mendidik Anak”, bab Pengantar Umum bagi Orang Tua, hal 18-22.
[4] M. Ridha Alta, “Peningkatan Peran Orang Tua dalam Pendidikan Keluarga”
[5] Ustadz Muhammad Ibnu Abdul Hafizh Suwaid ”Cara Nabi Mendidik Anak”, bab Cara-cara Nabi Mendidik Anak, hal 91-104
No comments:
Post a Comment